Jumat, 05 Juli 2013

Horee Family Trip (3)

Begitu masuk commuter line, kami mengarahkan anak-anak untuk mencari pegangan, pada ring atau tiang.

Semula masih bisa menahan backpack dan bergelantungan plus dipeluk dua anak terkecil. Berhubung tiap stasiun penumpang naik lebih banyak dari yang turun, keadaan sudah tidak dapat dikatakan santai.

Insiden dalam Commuter Line

Odie mulai protes. Kaka menangis karena terdesak arus penumpang. Aku sendiri menahan punggung yg didorong backpack dan penumpang belakang. Udara mulai gerah. AC tak mampu memberi kesejukan.

Beberapa penumpang merasa kasihan pada Odie dan Kaka. Seorang lelaki muda dimintai seorang penumpang untuk memberikan kursinya buat anak-anak. Tapi hanya menggeser dan menawarkan tempat untuk berbagi duduk.

Odie menolak. Aku berterima kasih pada lelaki itu. Tidak ada yang dapat disalahkan atas kondisi ini. Jika semua bertekad mempertahankan tempatnya, itu adalah hak. Bahkan jagalah eksistensi itu dengan berbagai cara, tidur misalnya. Sangat aman dan damai rupanya, tidur di CL :)

Seorang perempuan muda di sebelah lelaki itu menawarkan tempatnya untuk Odie dan Kaka. Ia tidak tega karena dua anak itu terlibat adu tangan dan kaki karena merasa tidak nyaman. Salah satu merasa terinjak, lalu membalas. Adu mulut bertambah dengan aksi tangan dan kaki. Hubby masih sempat mengingatkan mereka dari jarak dua meter di antara riuh penumpang. Tapi percekcokan tetap terjadi. Penumpang sekitar melongo melihat kelakuan duo kriwil itu.

Aku lalu menurunkan backpack dan berusaha memeluk keduanya dengan satu tangan. Kaka menangis meminta turun. Lima stasiun lagi menuju Duren Kalibata. Seorang penumpang menyarankan tetap bertahan, tanggung, di Manggarai banyak yang turun, biasanya, katanya.

Biasanya. Jadi belum pasti. Sementara anak-anak sudah tertekan dengan desakan penumpang dan hawa panas. Bella beberapa kali khawatir bagaimana kalau kami semua kehabisan udara:)

Jendela lalu dibuka. Udara segar masuk. Tapi anak-anak kecil itu tetap protes. Odie duduk di lantai, memaksa seorang penumpang bergeser. Aku tak mampu melarangnya. Kaka masih menangis memeluk perutku.

"Odie nggak mau naik kereta ini lagi!" Teriak Odie setengah putus asa. "Keretanya kepenuhan!"
Aku mengangguk mengiyakan, "Iya, kita pulang naik bus aja."
"Cari bus yang sepi ya, Mah?" Kaka berhenti menangis dan menatapku.
"Iya," aku memeluknya.
Odie masih protes sambil memeluk backpack dan kakiku, "Odie nggak mau naik kereta ini lagi!"

Aku sudah tak bisa melihat hubby lagi karena tertutup badan penumpang. Bella dan Gab masih bisa mengatasi keadaan. Mereka sudah besar dan cukup bisa membawa diri.

Ganti Kereta

Akhirnya aku dan hubby sepakat turun di Manggarai. Odie dan Kaka sudah tidak tahan lagi. Wajah mereka makin tersiksa. Tiap kali penumpang bertambah.

Aku menyeret backpack sambil mengawasi Odie Kaka turun. Kereta tak berhenti lama, jadi kami harus segera keluar.

Di peron, kami duduk-duduk. Menyusun rencana. Menawarkan berbagai alternatif transportasi yang memungkinkan pada anak-anak.
Anak-anak kompak memilih naik taksi menuju Kalibata City. Sementara jarum arloji menunjuk ke angka 5, saat pulang kantor. Kami takut tak dapat mengejar acara pukul 19 di sana.

Hubby berbincang dengan calon penumpang yang juga menunggu di peron. Sarannya kami naik CL lagi, tapi tunggu yang tidak begitu penuh.
Anak-anak protes. Tapi untunglah mereka mengerti, setelah hubby memberi gambaran kepadatan lalu lintas jelang pulang kantor.
"Dengan kereta lebih cepat karena nggak ada kemacetan di rel!" Katanya yakin.

Syukurlah anak-anak mengerti. Tapi harus menunggu CL yang sepi. Artinya tidak sepadat yang tadi.

Jadilah kami melewatkan dua CL untuk mendapati yang lebih lega. Anak-anak berubah ceria karena dapat bergerak leluasa.

"Gimana Odie, Kaka, senang nggak naik kereta?" Tanya hubby.
Odie tersenyum, "Iya! Nanti kita pulangnya naik kereta ini aja, Yah!"
Kaka mengangguk, "Iya! Iya! Naik kereta ini lagi!"
Keduanya berebut berpindah tempat dan tiang pegangan.

Kami tertawa mengingat beberapa menit lalu pendapat mereka amat berbeda.. (*)

Senin, 01 Juli 2013

Horee Family Trip (2)

Packing kali ini cukup melelahkan, kendati perlengkapan tak begitu banyak. Tapi begitu banyak pernak-pernik yang harus dipikirkan.

Apalagi anak-anak cenderung menunda-nunda menyiapkan perbekalan mereka sendiri. Jadilah aku harus gerak cepat menyiapkan semuanya.

Semula aku menjadikan perbekalanku dan dua anak terkecil menjadi satu backpack. Tapi hubby menyarankan anak2 semua membawa keperluannya dalam tas masing-masing.

Odie sudah sadar diri mengisi ransel sekolahnya dengan baju yang sudah kusiapkan. Tapi Kaka si bungsu, malah sibuk menyiapkan notes, dompet, pensil warna, yang lalu dimasukkan dalam tas selempang India. Ia menolak bawa tas selain itu. Girly memang dia!

Riweuh

Kupikir suasana saat itu mirip film keluarga Home Alone. Anak-anak mulai ribut bertanya barang-barang pribadi yang sebaiknya mereka bawa. Alhasil anggota keluarga bersliweran mengambil ini-itu. Aku sibuk memesan taksi sambil sesekali menjawab pertanyaan hubby dan anak-anak.

Jelang berangkat anak-anak baru menyadari sebuah perjalanan akan ditempuh. Si sulung sibuk mencari peniti dan bros untuk kerudungnya. Ia sedang senang memakai kerudung kain, setelah biasanya berkerudung bergo.

Anak lelaki kedua masih sibuk dengan gadgetnya dan cenderung tak masalah dengan jenis baju yang kusodorkan untuk dibawa. Langsung dimasukkan ke backpacknya sambil terus mengikuti irama musik dari headset.

Keributan terjadi pada dua anak terkecil. Selalu saja ada topik yang menjadi bahan ledekan atau tangisan. Bagi kami, itu tanda peringatan mereka sudah tak sabar memulai perjalanan.

Insiden di Depan Stasiun

Demi menghemat waktu, kami mencarter taksi ke stasiun Serang. Anak-anak memasukkan tasnya ke bagasi mobil dan segera masuk taksi. Hubby bertugas mengunci dan menyerahkan kunci ke relawan, untuk menyalakan lampu rumah dan berjaga.

Berdempetan kami berempat di jok belakang, sementara hubby dan Odie di jok depan. Sempat ada perebutan kursi jok belakang, karena Kaka tidak terima tempat duduknya sempit. Hihihi..

Perjalanan menuju stasiun lancar jaya. Hanya ketika sedang mengambil barang-barang di bagasi taksi, dua motor bertabrakan persis di belakang kami. Untunglah lalu lintas tak begitu ramai. Anak-anak jadi konsentrasi ke insiden itu. Empati mereka tumbuh karena salah satu korban tabrakan itu anak kecil.

Sambil berjalan memasuki stasiun mereka membicarakan kronologi tabrakan itu, yang berawal dari keraguan motor pertama hendak belok kanan, sehingga ditabrak motor belakangnya.

Setelah tiket terbeli, aku membagikannya berdasar nama masing-masing. Agak berisiko memang, takut hilang di tangan anak-anak kecil. Tapi kami mencoba menanamkan tanggung jawab pada mereka.

Pindah Commuter Line

Setelah menikmati perjalanan Serang-Tanah Abang, dengan hidangan pemandangan pepohonan, kami harus ganti Commuter Line.

Turun dari kereta kami naik tangga menuju lobby loket. Ramai sekali. Jadi ingat stasiun di Hazrat Nizamudin, New Delhi. Tapi kebersihan masih menang Tanah Abang, sih:D

Aku dan anak-anak duduk menunggu hubby antre tiket. Tidak ada komplen lapar dan haus dari anak-anak berkat bekal makanan dan minuman yang cukup dari belanjaan Gab sebelumnya.

Kami lalu turun ke peron 3, bergabung bersama ratusan calon penumpang berdiri di sepanjang peron. Berkali-kali kami harus mengingatkan anak-anak yang besar karena keinginan mereka aneh-aneh.

Mulai dari berdiri terlalu di tepi peron, melongok ke rel atau tergoda main gadget. Kami sudah mewanti-wanti untuk tidak menggunakan gadget di tempat keramaian seperti stasiun. Toh tidak urgent juga.

Lalu datanglah commuter line yang melintasi tujuan kami: Stasiun Kalibata.

Tapi untuk naik saja perlu perjuangan luar biasa. Kerumunan penumpang turun seperti menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Dan baiknya calon penumpang dengan sadar memberi jalan.

Lalu setelah berhasil naik, penumpang berdesakan, berebut ring plastik yang menjadi tumpuan. Dua anak terkecil mulai ribut. Mereka agak kaget dengan kondisi yang dihadapi. Baru kali ini naik kendaraan umum berjejalan seperti itu.

Bagi anak remaja ini jadi pengalaman baru. Sedangkan buat bapak-ibunya ini seperti deja vu pada suatu ketika. Lha buat anak-anak kecil, ini adalah bencana!

Seperti apa kericuhan yang terjadi, ceritanya terlalu panjang, jadi saya tulis di bagian 3 ya :D